Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Kalau
 kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa 
awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam 
membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh 
bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik 
secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun
 swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat,
 sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula 
menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri 
dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan
 yaitu bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan 
tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan 
tersebut”.
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi 
cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung 
dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama 
seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu 
Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang 
terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab 
dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum 
wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan 
Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan 
lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam 
berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, 
seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin 
Huyay –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau 
bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti 
Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga 
Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang 
pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang 
jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad, kisah perempuan tersebut 
diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut
 penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini 
dengan sabdanya:
Apabila
 Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang 
Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi 
atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau 
menawarkan sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada 
menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. 
Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas’ud, sangat aktif bekerja, 
karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan 
hidup keluarga ini. Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, 
ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar 
kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. 
dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai 
bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu 
juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta 
pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan 
mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, 
antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik
 “permainan” seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah 
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Abdullah bin 
Rabi’ Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: “Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki.”
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada 
masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah 
diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan 
dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau 
pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila 
tetap terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap 
orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan 
menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh 
sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu 
jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-’Uzhma) dan Hakim. Namun, 
perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan 
tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai 
hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa 
“setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu 
itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari
 orang lain”. Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud 
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan 
perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat 
bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang
Dan
 janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada 
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki 
ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan 
juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah 
kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
 sesuatu (QS 4:32).
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.




